Blogger Indonesia

Rabu, 05 Desember 2012

Zaman Setelah Agama Buddha


  1. Zaman Agama Buddha, sejak tahun 500 SM hingga kira-kira tahun 300 SM. Pada zaman ini timbullah agama Buddha, yang berlainan sifatnya dibandingkan dengan agama Weda. [1]
  2. Zaman agama Buddha mempunyai corak yang sangat lain dari agama Weda. Zaman Agama Buddha ini diperkirakan berlangsung antara 500 SM – 300 SM.[2]
  3. Sekarang pengetahuan tentang sejarah bangsa Arya itu lebih lengkap dan lebih terang daripada sejarah bangsa-bangsa asli India di zaman purbakala. Bangsa dravida lama-kelamaan dipengaruhi oleh bangsa Arya, sehingga terjadilah pertempuran kebudayaan dan agama baru.[3]
A.      Zaman timbulnya kerajaan-kerajaan Arya. Zaman Pemerintahan raja-raja Maurya.
Raja-raja Magadha yang terkenal ialah Sisunaga (642 SM), Bimbisara (582 SM), dan Ajatasatru, nama lain Kunika (554 SM). Bimbisara memperluas kerajaan Magadha dan menaklukan kerajaan-kerajaan di sekelilingnya. Di masa pemerintahan Ajatasatru agama Buddha dan Jaina mulailah bersaing untuk merebut kedudukan yang terpenting. Menurut berita di masa itu Devadatta seorang keponakan Buddha melawan agama Buddha dan mendirikan cabang agama baru yang mempunyai pengikut hingga abad ke-7, tarikh Masehi. Ajasatru memperluas kerajaan Magadha dan memindahkan ibukotanya ke Pataliputra, di tepi sungai Gangga.[4] Kota itu amat mahsyur terlebih setalah menjadi ibu raja-raja Maurya di belakang hari.[5]
Beberapa tahun kemudian di waktu pemerintahan Udaya , cucu Ajatasaru (kurang lebih 516 SM) Darios dari Persia menaklukan daerah di Sindh dan Punjab, di hulu sungai Indus. Dalam berita-berita itu tertulis bahwa raja Persia mempunyai prajurit-prajurit bangsa India yang turut berjuang di tanah Yunani. [6]
Sejak abad ke-5 SM, sejarah kerajaan Magadha tidak begitu jelas lagi. Yang agak dapat dipercayai adalah kisah ini. Salah seorang keturunan Bimbasara yang tidak begitu besar kuasanya dibunuh dan diganti menterinya yang bernama Mahapadma Nanda dari golongan Sudra. Raja itulah asal keturunan 9 orang raja yang berturut-turut memerintah Magadha sampai tahun 322 SM. Pada tahun itu Nanda yang penghabisan dibunuh oleh oleh Chandragupta Maurya. Menurut dugaan ia adalah seorang keturunan Nanda juga akan tetapi kawin dengan perempuan kasta rendah. Dengan Chandragupta mulailah riwayat kejadian-kejadian di India jelas dan dapat ditentukan. Diwaktu pemerintahan raja itu, Magadha berhasil merebut kuasa yang seluas-luasnya. Akan tetapi dua tahun sebelum ia diangkat menjadi raja terjadilah peristiwa yang besar akibatnya bagi seluruh India, yaitu penyerbuan Iskandar Zulkarnain ke India utara. [7]
1.)    Penyerbuan Iskandar Zulkarnain ke India
Iskandar Zulkarnain adalah seorang raja dan panglima besar Yunani yang mahsyur dalam sejarah Barat purbakala. Ayahnya memerintah dalam negeri kecil , yaitu Makedonia, bagian dari tanah Yunani. Waktu masih muda ia mendapat pendidikan yang luas, bukan dalam keprajuritan saja tapi dalam ilmu filsafat dan pemerintahan juga.[8]
Ayahnya mempunyai cita-cita untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Yunani dan memperluas kerajaannya sampai ke daerah Asia, akan tetapi sebelum ia dapat menjalankannya, ia dibunuh oleh seorang penjahat.[9]
Putra mahkota Iskandar juga yang pada ketika itu baru berumur 24 tahun menjadi raja di negeri Makedonia sebagai penggantinya. Iskandar mengadakan persediaan untuk meneruskan niat ayahnya itu.  Di tahun 334 SM balatentaranya menyebrang selat Hellesponts yang memisahkan Eropa dengan Asia. Dengan cepat seperti halilintar ia menaklukan Asia Muka (Turki sekarang), Syria, Palestina, Mesir, Persia, dan Baktria, sehingga di tahun 327 SM jadi sudah tujuh tahun sudah meninggalkan negerinya, balatentaranya tiba di batas India, negeri yang mengandung banyak rahasia kekayaan dan hasil-hasil kebudayaan yang luhur. Bagi seorang pahlawan yang muda, remaja nafsunya tidak dapat tertahankan lagi untuk memasuki dan memerangi India yang sudah begitu dekat di hadapannya.[10]
Setelah didirikannya benteng-benteng pertahanan di tapal India dan Baktria. Maka tahun 327 SM turunlah ia ke lembah India melalui pegunungan Hindu – Kush dan jurang-jurang yang dalam.[11]
Menurut berita, Iskandar mula-mula tidak mendapatkan perlawanan dalam negeri-negeri yang didudukinya. Di antara negeri yang terkenal itu ialah negeri Takkashila. Peninggalan kota itu sekarang masih nampak di dekat kota Rawalpindi. Ia menyebrangi hulu sungai India dan terus memasuki Punjab atau negeri lima sungai. Akan tetapi ketika melalui sungai Jhilam (dalam bahasa Yunani: Hydaspes) Iskandar mengalami perlawanan hebat yang belum pernah dialaminya dalam tujuh tahun, sejak ia menyerbu ke Asia. Tatkala Iskandar sampai di tepi sungai Jhilam, raja negeri Poros sudah siap sedia menantikan kedatangannya dengan tentara terdiri dari 30.000 serdadu berjalan, 4000 serdadu berkuda, 300 kereta perang yang ditarik empat ekor kuda, 200 gajah perang, semua membawa senjata yang lengka. Iskandar lebih dari tiga bulan terhambat dan terpaksa mengadakan persediaan untuk melawan, balatentara yang kuat itu. Akhirnya dapatlah ia menyerang pasukan gajah raja Poros itu dulu, sehingga terjadi kekacauan di antara binatang-binatang itu. Mereka menginjak serta membantingkan baik musuh maupun pasukan raja sendiri dengan belalainya sampai mati. Sesudah itu barulah pasukan berkuda mengepung dan menghalaukan balatentara Poros itu ke pinggir sungai Jhilam yang dalam itu. Tidak lama kemudian raja Poros terpaksa menyerah, setelah ia mendapat luka-luka yang parah. Iskandar menghormati musuhnya dan memerdekakan tawanan semuanya, mereka berjanji akan berkerja sama dengan orang Yunani.[12]
Tiba di tepi sungai bias, balatentara Iskandar mogok da mengatakan tidak bersedia berperang lagi, melainkan hendak pulang ke Yunani yang tujuh tahun mereka tinggalkan. Dengan bijaksana Iskandar memenuhi kemauan tentaranya dan mengumumkan supaya perang di India diselesaikan pada tempat itu saja. Sebelum balik ke Yunani, Iskandar mendirikan dua belas candi sebagai tanda peringatan dan tanda perasaan berterima kasih kepada dewa-dewa kebangsaan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 326 SM.[13]
Iskandar menganggap negeri-negeri itu semuanya masuk bagian-bagian kerajaannya dan ia berharap akan lekas kembali ke India. Sebagai wakilnya untuk memerintah negeri-negeri yang takluk itu diangkatnya Poros, musuh lama itu. Akan tetapi kedatangan ajalnya kedatangan ajalnya tidak dapat dielakkan dan dengan wafatnya tidak lama kemudian, India terlepas dari kerajaan Yunani.[14]
2.)    Pemerintahan raja-raja Maurya
Mengingat lemahnya kedudukan wakil-wakil yang ditinggalkan oleh Iskandar di India mengertilah kita bahwa tidak lama setelah kabar wafatnya Iskandar terdengar, penduduk negeri-negeri itu langsung bertindak untuk merebut kemerdekaannya. Pemimpin gerakan itu bernama Chandragupta, keturunan raja Nanda di Magadha yang dibuang keluar negerinya dan lari ke India Utara. Tidak dapat tidak Chandragupta pernah bertemu juga dengan Iskandar dan sebagai pemuda bangsawan yang mempunyai perasaan keprajuritan itu tentu tertarik oleh kegagahan dan kebijaksanaan pahlawan itu.[15]
Kerajaan iskandar dibagi-bagi oleh panglima perangnya yang semata-mata menjadi raja sendiri dalam daerah masing-masing. Diantara mereka ada Seuleukos menguasai bagian timur yang melingkungi India Utara. Dalam tindakannya untuk mempertahankan kuasanya di negeri itu ia dikalahkan oleh Chandragupta dari Magadha. Sehingga ia terpaksa berdamai di tahun 305 SM. Perdamaian itu amat besar artinya, sebab semenjak itu Seuleukos mempunyai utusan di Pataliputra, ibukota Magadha. Seorang di antara utusan-utusan bernama Megasthenes. Ia tuliskan pengalamannya disana dengan rapi dan teliti. Surat-suratnya masih tersimpan dan salinannya menjadi sumber yang amat berharga untuk mengetahui keadaan dalam kerajaan Chandragupta pada masa itu 322 – 298 SM dan pemerintahan puteranya raja Bindusara (298 – 172 SM).[16]
Seorang penulis yang mahsyur lagi ialah Chanakya Vishnugupta, seorang Brahma, guru dan pembesar penasehat Chandragupta.[17]
Tentang peraturan pemerintah dan kehakiman di zaman ini, kitab Arthasastra memberikan keterangan yang cukup. [18]
Keterangan-keterangan itu semuanya menggambarkan Magadha sebagai suatu negeri yang majun dan mempunyai kebudayaan tinggi, pemerintahan, keuangan, kehakiman, perekonomian serta cara pertahanan yang teratur. Lagi pula, peraturan-peraturan pemerintahan tidak ditiru dari manapun juga, melainkan muncul dari kebijaksanaan dan pikiran sendiri.[19]
Pusat segala kuasa adalah raja, dibawahnya terdapat raja-raja muda yang menguasai daerah-daerah atau provinsi-provinsi. Disamping raja ada suatu badan penasehat tinggi. Pusat pemerintahan diserahkan kepada 18 kementrian. Yang amat lengkap ialah kementrian pertahanan negeri, dibagi atas 8 bagian. Pembesar-pembesar negeri menerima gaji yang cukup supaya mereka jangan memeras penduduk. Pajak tanah, cukai barang masuk, pajak penghasilan, semuanya terhiitung aturan-aturan yang modern, sudah dijalankan dalam kerajaan Magadha. Untuk menambah hasil pertanian diadakan pengairan yang sangat perlu dalam negeri yang panas seperti India dengan cara besar-besaran.[20]
Pertahanan di dalam negeri kuat sekali. Menurut keterangan Megasthenes balatentara Magadha terdiri dari laki-laki 600.000 serdadu berjalan, 30.000 serdadu menunggang kuda, 9000 ekor gajah, dan 8000 kereta perang.[21]
Kaum Brahma mendapatkan perlindungan yang luar biasa, oleh sebab itu mereka besar pengaruhnya terhadap raja. Menurut berita dari kaum Jaina, raja Chandragupta pada suatu waktu menarik diri dari pemerintahan dan menjadi pengikut Jaina, sesudah  terjadi kelaparan yang hampir 10 tahun lamanya sebab ia merasa berdosa terhadap rakyatnya. Ia diganti oleh putranya, Bindusara (298 – 272 SM). Riwayat raja ini tidak begitu jelas, hal yang tentu ialah bahwa raja itu pertama kali memerangi bangsa-bangsa di daerah Deccan di India tengah.[22]
Ia diganti oleh putranya yang kelak mendapat nama yang mahsyur dalam sejarah India, ialah Asoka Vandhana (272 – 232 SM).[23]
Sebelum Asoka naik tahta kerajaan, ia memegang kekuasaan sebagai raja muda di India Barat, suatu ujian untuk menunjukan kecakapannya. [24] Berlainan dengan nenek dan ayahnya ia ternyata seorang yang lemah lembut, peramah, dan suka berbakti, setia kepada agama dan amat mengasihi rakyatnya. Walaupun demikian ia terpaksa berperang untuk mengadakan ketentraman di Deccan dan menaklukan kerajaan Kalinga (di pantai Teluk Benggala). Setelah raja Asoka mendengar bahwa dalam peperangan itu lebih kurang dari 100.000 orang Kalinga binasa dan 150.000 orang ditawan, ia sangat sedih hati dan bersumpah tidak akan mengangkat senjata lagi terhadap siapapun juga untuk selama-lamanya. Makin nampaklah kerinduan raja untuk memeluk agama Buddha dan menjalankan segala syarat-syarat agama itu dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pemerintahan.[25]
Di tahun 249 SM atau 24 tahun sejak Asoka menjadi raja, baginda ziarah mengunjungi semua tempat-tempat suci yang bersangkutan dengan hidup dan pengajaran Gautama Buddha. Kota-kota itu ialah, Kapilavastu (tempat lahir Buddha), Sarnath dekat Benares (tempat Buddha pertama kali menyebarkan agamanya), Sravasti, Gaya (tempat pohon bodhi yang suci), dan Kusinagara (tempat wafatnya). Di tempat-tempat itu baginda memberi sedekah dan mendirikan tanda-tanda peringatan yang sampai sekarang sangat berarti bagi ilmu sejarah.[26]
Dengan resmi raja Asoka meninggalkan agama Brahma dan memeluk Buddha. Kemudian baginda masuk bikhsu (reshi), dari sikap ini jelaslah bahwa agama buddha di zaman itu mendapat kedudukan sebagai agama kerajaan. Atas titah raja Asoka didirikan kurang lebih 48.000 buah stupa yang masih ketinggalan ialah stupa yang mahsyur di Sanchi (India Tengah), dekat ibu negeri provinsi yang di bawah pemerintahannya dulu. Untuk anaknya putri Charumati yang sungguh berbakti didirikan oleh raja beberapa wihara atau asrama bagi kaum wanita, terutama di bagian Nepal.[27]
Di waktu pemerintahan Asoka, seluruh India hampir dapat disatukan. Hanya bagian ujung selatan dan Sailan yang belum takluk kepadanya, kepulauan Sailan dikirim utusan-utusan untuk mengajarkan agama Buddha. [28]
Dari zaman Asoka sampai sekarang pulau Sailan adalah pusat pertahanan Buddha. [29]
Dalam sejarah India belum pernah terdapat seorang raja yang begitu luas kerajaannya seperti Asoka. Kerajaan Chandragupta di abad ke-5 Sesudah M dan kerajaan Moghul (Sultan Akbar dan keturunannya) di abad ke-16 dan 17 tidak sampai menyamai kerajaan Asoka itu.[30]
Yang penting sekali dalam sejarah pemerintahan Asoka yang memahsyurkan namanya pula sampai sekarang ialah tulisan-tulisan (prasasti) yang dipahat di dinding-dinding dan tiang-tiang batu (Zuilen).[31]
Asoka dengan resmi memeluk agama Buddha. Akan tetapi rakyat pada umumnya masih setia kepada agama hindu, yang sudah berakar teguh dalam masyarakat tersebut sejalk purbakala. Pandit-pandit Brahma masih besar pengaruhnya kepada rakyat. Asoka mengeluarkan amanat supaya di antara agama-agama atau mazhab-mazhab haruslah ada ikatan persaudaraan dan perdamaian; tiap-tiap agama merdeka melakukan kebaktian dan mendapat perlindungan yang sama terhadap raja. Pendidikan masyarakat didasarakan pada pengajaran Buddha. Oleh sebab itu ia melarang membunuh makhluk berjiwa, baik manusia atau hewan. Yang melanggar akan mendapat hukuman yang keras. Agama Buddha percaya bahwa manusia itu dalam hidupnya melalui beberapa tingkat dan menjelma tiap-tiap kali dalam suatu jenis makhluk. Penjelmaan itu ditentukan oleh karma, yang terdapat pada tiap-tiap manusia, yaitu hasil dari segala perbuatannya yang baik atau buruk. Oleh karena itu, manusia dan penjelmaannya tidak boleh dibunuh.[32]
Dalam maklumatnya, Asoka memerintahkan supaya tiap-tiap orang menghormati orang tuanya leluhurnya, dan orang-orang yang di atasnya. Kewajiban yang ketiga adalah supaya setiap orang mencari kebenaran dan menuntut kerendahan dan kemurahan hati. Perbuatan-perbuatan raja Asoka yang penting berhubung dengan ibadah dan kesucian semangat ialah mendirikan rumh sakit dan rumah miskin, menyediakan pondok-pondok untuk merawat hewan-hewan yang sakit, memberi derma kepada orang yang bertapa (sangha), mendirikan wihara-wihara dan asrama-asrama, mengirim utusan keluar negeri untuk memperkuat perdamaian, misalnya ke Iran, Mesir, dan Sailan, mengadakan penjagaan di jalan-jalan raya, menyediakan pesanggrahan, sumur-sumur air air, menanam pohon buah-buahan di pinggir jalan untuk umum dlsb.[33]
Di Sailan, pusat agama Buddha, ia dihormati sebagai seorang manusia yang telah mencapai penjelmaan Bodhisatwa.[34]
Kerajaan Maurya rupanya di bawah pemerintahan Asoka sudah sampai kepada puncak yang setinggi-tingginya. Setelah raja wafat kaum Brahma yang merasa kedudukannya sangat dibelakangkan di tengah-tengah masyarakat yang berdasar pada filsafat Buddha mengajak rakyat supaya melawan Dasaratha, putera Asoka. Kerajaan Maurya mulai mundur dan terpisah-pisah. Akhirnya keturunan Asoka hanya dapat mempertahankan sebagian dari kerajaan yang luas itu.[35]
Tahun 185 sebelum Masehi raja Maurya penghabisan Brihadrata dibunuh oleh panglima perangnya Pushyamitra Sunga sengaja merebut kuasa dari tangan raja yang lemah itu untuk memperkuat perlawanan terhadap musuh yang mengancam dari sebelah Baktria dan Turkestan (bangsa Parthi). Musuh itu hendak menyerbu ke dalam kerajaan Maurya yang sudah lapuk itu.[36]
Keturunan-keturunan Sunga memrintah 112 tahun lamanya. Kejadian-kejadian yang penting tidak berapa yang diketahui. Mual-mula raja Kalinga yang ditaklukan oleh Asoka dapat merebut kerajaannya kembali, sehingga Pushyamitra terpaksa mengadakan perdamaian yang mengurangi kuasanya.[37]
Peristiwa yang kedua ialah peperangan dengan Menander raja Kabul, di sebelah timur Persia yang seakan-akan hendak meniru Iskandar Zulkarnain dan bermaksud merebut India, akan tetapi ia dikalahkan oleh Pushyamitra (155 sebelum Masehi). Inilah peperangan penghabisan yang dilakukan oleh bangsa dari sebelah barat terhadap India. Penjajahan imperialisme Barat baru mulai 1650 tahun kemudian dan datangnya dari laut, yaitu mula-mula dengan kedatangan seorang portugis di abad ke-15 dan seterusnya orang Inggris di abad ke-17.[38]
Raja-raja Sunga tidak begitu menyukai agama Buddha; mereka itu memihak kepada kepada agama Brahma. Dalam pemerintahan Pushyamitra kebiasaan-kebiasaan Brahma dihidupkan lagi. Yang ajaib diantaranya ialah pengorbanan kuda (asvamedha).[39]
Seekor kuda yang bagus dan berwarna luar biasa setelah dihiasi menurut upacara, dilepaskan dan dihalaukan kemana-mana. Semua negeri-negeri dimana kuda itu nampak harus tunduk atau diperangi. Sesudah satu tahun lepas, barulah kuda itu ditangkap dan dibunuh serta dikorrbankan dengan upacara yang sebesar-besarnya.[40]
Kita tahu, agama Buddha melarang keras pembunuhan hewan, maka jelaslah bahwa perbuatan demikian semata-mata penghinakan agama Buddha. Pengorbanan kuda semacam itu akan kita temui lagi lima abad kemudian, yaitu di zaman Samudragupta. Raja Sunga penghabisan tidak berkuasa lagi, melainkan menjadi boneka saja di tangan menterinya Vesudeva, yang akhirnya raja itu juga dan menjadi penggantinya (73 sebelum Masehi). Keturunannya bernama Kanva. Raja-raja Kanva memerintah selama 45 tahun saja dan diganti raja-raja Andhra, terdiri dari 30 turunan dan memerintahkan hampir 250 tahun lamanya, sampai tahun 225 tarikh Masehi.[41]


[1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha. (Jakarta: Gunung Mulia, Cet. 17, 2010). h. 13
[2] Mukti Ali, Agama-Agama Dunia. (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, Cet. 1, 1988). h. 94
[3] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 19
[4] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 20
[5] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 21
[6] ibid
[7] ibid
[8] ibid
[9] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 22
[10] ibid
[11] ibid
[12] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 22-23
[13] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 23
[14] ibid
[15] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 25
[16] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 26
[17] ibid
[18] ibid
[19] ibid
[20] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 27
[21] ibid
[22] ibid
[23] ibid
[24] ibid
[25] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 27 - 28
[26] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 28
[27] ibid
[28] ibid
[29] ibid
[30] ibid
[31] ibid
[32] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 30
[33] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 30-31
[34] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 31
[35] Ibid
[36] ibid
[37] ibid
[38] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 31-32
[39] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 32
[40] ibid
[41] Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar