Spekulasi canggih serta
mistisisme intelektual ternyata tidak dapat spekulasi aspirasi religius
manusia biasa. Reaksi ini diikuti oleh spekulasi sekelompok kecil
arif-bijaksana yang memisahkan diri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
(a)
Penekanan pada
moralitas, pengendalian diri dan kerja yang baik.
(b)
Interprestasi
yang rasuonal terhadap masalah kehidupan manusia.
(c)
Penolakan
terhadap ritualisme serta menghormati kehidupan dunia hewan.
(d)
Kepercayaan
terhadap Tuhan personal, kepada siapa manusia dapat memuja dan
mempersembahkan devosinya.
Jika para
pertapa dan arif- bijaksana membimbing beberapa murid dalam menjalankan
mistisisme metafisis, maka kasta Brahmana mengembangkan teks-teks ritual rumit
yang dikenal sebagai sutra. Reaksi populer tervermin dalam
gerakan-gerakan seperti buddhiesme, Jainisme, Shaivisme, dan Vaishnavisme.
Menurut Arvind
Sharma, terdapat dua bentukreaksi terhadap ritual qorban model Weda, yakni
eksterbal dan internal. Teks-teks Upanishad yang mengkritisi tradisi sebelumnya,
namun masih tetap mendudukkan serta mengidentifikasikan diri dengan Weda. Namun
pada abad ke-6 S.M., muncul dua gerakan utama yang mendudukkan diri mereka di
luar kekolotan hukum Weda, yakniBuddhisme dan Jainisme.
Dalam
menghadapi tantangan inilah Hinduisme lantas memulai meredefinikasi dirinya.
Buddhisme dan Jainisme memang menolak otoritas atau tradisi weda, terutama
mengenai komitmen terahadap tujuan serta kehidupan duniawi, instuisi kasta dan
tahap-tahap kehidupan, paling tidak sebagian, jika tidak seluruhnya. Hinduisme
merumuskan dirinya dalam menghadapi tantangan ini, dengan menyatakan
validalitas weda serta hukum kasta (varna) dan tahap-tahap kehidupan (asrama).
Pada mulanya gerakan Hinduisme dan Jainisme menarik banyak perhatian orang dan
menjadi kekuatan yang cukup besar. Jika kita melihat bukti-bukti arkeologis
dari abad ke-2 S.M, maka bukti menunjukkan bahwa gelombang pasang sedang
memihak kepada Hinduisme, dan sejumlah besar orang asing yang masuk ke India
pada waktu itu juga menjadi pengikut Budhisme.
Namun lambat
laun gelombang pasang tersebut berbalik. Pendirian dinasti Gupta di India Utara
sekitar 300 M, memberikan tanda kebangkitan kembali Hinduisme. Pada abad lke- 3
sampai abad ke-10, Hinduisme telah berhasil secara gekilang mendudukkan diri
sebagai agama dominan di India.
Ketika Fa Hsien
mengunjungi India pada abad ke-4, Buddhisme memang sedang berkembang, dengan
pesat, tetapi tanda-tanda kebangkitan Hinduisme juga sudah tampak jelas.
Demikian juga dari catatan I Ching yang kemudian juga berkunjung ke India.
Kemudian Hsuan-Tsang meminta agar kutipan dari Rig-Weda dikirim kepadanya
setelah ia kembali ke cina, dan seorang raja Hindu memintanya untuk
menerjemahkan Tao Te Ching ke dalam bahasa Sansekerta. Hal ini membuktikan
adanya interaksi baik antara Hinduisme dan Buddisme, yakni: antara India
dan Cina pada saat itu. Kebangkitan Hinduisme di masa Klasik terkait erat
dengan kebangkitan dan kesadaran akan Weda, yang secara grafis digambarkan
lewat imajinasi raksasa seekor babi yang meruoakan inkarnasi dewa Wishnu, yang
menyelamatkan bumi dari kejatuhannya.
Buddhaisme dan
Jainisme
Bersama-sama
dengan kaum Materialis (Carvaka), ketiga aliran ini disebut nastika, artinya tidak
menerima otoritas Weda. Mereka juga dimasukkan ke dalam golongan
‘heterdoks’ (tidak-ortodoks). Sedangkan ke-enam aliran filsafat (shad-Darsana)
yang disebut astika adalah yang menerima otoritas Weda disebut juga sebagai
golongan ‘ortodok’. Keduanya mengajarkan doktrin etika yang menekankan kesucian
lehidupan hewani, sehingga berada di luar jangkauan Hinduisme kolot, karena
penolakan mereka terhadap Weda sebagai kitab suci. Kita akan membahas kedua
aliran ini di bagian belakang buku ini.
Shaivisme dan
Vaishnavisme
Kedua aliran ini merupakan gerakan teistik yang
sulit dilacak asal-usulnya dan memainkan peranan sangat penting dalam
perkembangan Hinduisme berikutnya. Shaivisme atau agama shiva tampaknya dimulai
sekitar abad ke-6 S. M. Dengan menyembah dewa Rudra dalam kitab Weda.
Namun segera dewa Rudra digantikan oleh shiva yang merupakan dewa kaun
non-Aryan. Shiva dapat masuk kedalam tubuh yang sudah mati serta muncul dalam
wujud manusia unutk mewahyukan agama baru. Doktrin devosi (Bhakti) yang
diajarkan dalam Bhagavata dikatakan telah diwahyukan oleh
Vasudeva-Krisna. Ajaran ini disebut ‘Agama devosi tunggal’ (akantika-Dharma).
Hal ini terkait dengan Bhagavad-Gita yang ditulis sekitar abad ke-4 atau ke-3
S.M. Ajaran Gita ditulis secara terpisah sebagai bab tersendiri. Kemudian
Vasudeva-Krisnadiidentifikasikan dengan dewa Wishnu dan seluruh gerakan
berkembang menjadi agama Wishnu (Vaisnavism). Kedua epos, yakni Mahabharata
dan Ramayana kemudian menjadi sarana pemikiran religius serta devosi
bagi masyarakat.
Dalam Mahabharata, terdapat gambaran tentang
perkembangan agama Shiwa dan agama Wishnu yang mengkristal dalam cerita epos.
Rama sebagai tokoh utama dalam epos Ramayana dibuat menjadi jelmaan (avatara)dari
dewa Wishnu dan teks Ramayana lantas menjadi teks suci kaum Vaishnavisme.
Perkembangan agama populer membentuk sebuah tantangan bagi
tradisi ritual Weda serta mistisisme metafisis awal. Untuk memenuhi tantangan
ini, maka para ritualis dan metafisikawan mulai merumuskan serta menyistemkan
ini melahirkan berbagai sistem filsafat India. Ada enam sistem (Shad-Darshana),
yakni: Nyanya, Vaisheshika, Samkhya, Yoga, Purva-Mimamsa dan Vedanta.
Sumber:
http://sitinurhayati1604.blogspot.com/2012/11/zaman-klasik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar