A.
PENDAHULUAN
Agama Hindu atau
Hinduisme adalah agama jutaan penduduk India. Agama ini sama sekali tidak
memiliki bentuk dan merupakan suatu unsur himpunan
yang tidak sama dan tidak tetap.ia diibaratkan sebuah bola salju yang
menggelinding dan semakin membesar, karena menghisap semua yang dilaluinya, tanpa
ada yang tertinggal dan tanpa ada yang dibuang. Terhadap Hinduisme tidak dapat
diterapkan rumusan seperti biasa untuk merumuskan agama, karena: [1]
- Tidak mempunyai pendiri, sehingga tidak dapat disimpulkan dari khutbah atau ajaran yang menyatakan siapa dia berasal.
- Para pemeluknya tidak diharuskan untuk mempercayai suatu keyakinan tertentu mengenai Tuhan, manusia, dan alam.
- Tidak ada sesuatupun pangakuan iman yang disepakati oleh para pengikutnya.
- Tidak ada suatu organisasi keagamaan yang menghimpun semua penganutnya.
Sekarang pengetahuan
tentang sejarah bangsa Arya itu lebih lengkap dan lebih jelas daripada sejarah bangsa-bangsa asli
India di zaman purbakala. Bangsa dravida lama-kelamaan dipengaruhi oleh bangsa
Arya, sehingga terjadilah pertempuran kebudayaan dan agama baru.[2]
Zaman agama Buddha
mempunyai corak yang sangat lain dari agama Weda. Zaman Agama Buddha ini
diperkirakan berlangsung antara 500 SM – 300 SM.[3]
Perlu diketahui bahwa peradaban pada masa ini telah dapat
disejajarkan dengan peradaban-peradaban seperti Yunani, Mesir, dan Eropa yang
telah maju. Pengetahuan tentang Sejarah kerajaan ini dapat menambah pengetahuan
kita tentang sejarah dunia, selain itu dapat dikomparasikan dengan
kerajaan-kerajaan nasional yang juga berpengaruh pada dunia kala itu.[4]
::: Zaman
timbulnya kerajaan-kerajaan Arya. Zaman Pemerintahan raja-raja Maurya.
Raja-raja Magadha yang
terkenal ialah Sisunaga (642 SM), Bimbisara (582 SM), dan Ajatasatru, nama lain
Kunika (554 SM). Bimbisara memperluas kerajaan Magadha dan menaklukan
kerajaan-kerajaan di sekelilingnya. Di masa pemerintahan Ajatasatru agama
Buddha dan Jaina mulailah bersaing untuk merebut kedudukan yang terpenting.
Menurut berita di masa itu Devadatta seorang keponakan Buddha melawan agama
Buddha dan mendirikan cabang agama baru yang mempunyai pengikut hingga abad
ke-7, tarikh Masehi. Ajasatru memperluas kerajaan Magadha dan memindahkan
ibukotanya ke Pataliputra, di tepi sungai Gangga.[5]
Kota itu amat mahsyur terlebih setalah menjadi ibu raja-raja Maurya di belakang
hari.[6]
Beberapa tahun kemudian
di waktu pemerintahan Udaya, cucu Ajatasaru (kurang lebih 516 SM) Darios dari
Persia menaklukan daerah di Sindh dan Punjab, di hulu sungai Indus. Dalam
berita-berita itu tertulis bahwa raja Persia mempunyai prajurit-prajurit bangsa
India yang turut berjuang di tanah Yunani. [7]
Sejak abad ke-5 SM, sejarah
kerajaan Magadha tidak begitu jelas lagi. Yang agak dapat dipercayai adalah
kisah ini. Salah seorang keturunan Bimbasara yang tidak begitu besar kuasanya
dibunuh dan diganti menterinya yang bernama Mahapadma Nanda dari golongan
Sudra. Raja itulah asal keturunan 9 orang raja yang berturut-turut memerintah
Magadha sampai tahun 322 SM. Pada tahun itu Nanda yang penghabisan dibunuh oleh
oleh Chandragupta Maurya. Menurut dugaan ia adalah seorang keturunan Nanda juga
akan tetapi kawin dengan perempuan kasta rendah. Dengan Chandragupta mulailah
riwayat kejadian-kejadian di India jelas dan dapat ditentukan. Diwaktu
pemerintahan raja itu, Magadha berhasil merebut kuasa yang seluas-luasnya. Akan
tetapi dua tahun sebelum ia diangkat menjadi raja terjadilah peristiwa yang
besar akibatnya bagi seluruh India, yaitu penyerbuan Iskandar Zulkarnain ke
India utara. [8]
1.)
Penyerbuan
Iskandar Zulkarnain ke India
Iskandar Zulkarnain
adalah seorang raja dan panglima besar Yunani yang mahsyur dalam sejarah Barat
purbakala. Ayahnya memerintah dalam negeri kecil, yaitu Makedonia, bagian dari
tanah Yunani. Waktu masih muda ia mendapat pendidikan yang luas, bukan dalam
keprajuritan saja tapi dalam ilmu filsafat dan pemerintahan juga.[9]
Ayahnya mempunyai
cita-cita untuk mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di Yunani dan memperluas
kerajaannya sampai ke daerah Asia, akan tetapi sebelum ia dapat menjalankannya,
ia dibunuh oleh seorang penjahat.[10]
Putra mahkota Iskandar
juga yang pada ketika itu baru berumur 24 tahun menjadi raja di negeri
Makedonia sebagai penggantinya. Iskandar mengadakan persediaan untuk meneruskan
niat ayahnya itu. Di tahun 334 SM
balatentaranya menyebrang selat Hellesponts yang memisahkan Eropa dengan Asia.
Dengan cepat seperti halilintar ia menaklukan Asia Muka (Turki sekarang), Syria,
Palestina, Mesir, Persia, dan Baktria, sehingga di tahun 327 SM jadi sudah
tujuh tahun sudah meninggalkan negerinya, balatentaranya tiba di batas India, negeri
yang mengandung banyak rahasia kekayaan dan hasil-hasil kebudayaan yang luhur.
Bagi seorang pahlawan yang muda, remaja nafsunya tidak dapat tertahankan lagi
untuk memasuki dan memerangi India yang sudah begitu dekat di hadapannya.[11]
Setelah didirikannya
benteng-benteng pertahanan di tapal India dan Baktria. Maka tahun 327 SM
turunlah ia ke lembah India melalui pegunungan Hindu – Kush dan jurang-jurang
yang dalam.[12]
Menurut berita, Iskandar
mula-mula tidak mendapatkan perlawanan dalam negeri-negeri yang didudukinya. Di
antara negeri yang terkenal itu ialah negeri Takkashila. Peninggalan kota itu
sekarang masih nampak di dekat kota Rawalpindi. Ia menyebrangi hulu sungai
India dan terus memasuki Punjab atau negeri lima sungai. Akan tetapi ketika
melalui sungai Jhilam (dalam bahasa Yunani: Hydaspes) Iskandar mengalami
perlawanan hebat yang belum pernah dialaminya dalam tujuh tahun, sejak ia
menyerbu ke Asia. Tatkala Iskandar sampai di tepi sungai Jhilam, raja negeri
Poros sudah siap sedia menantikan kedatangannya dengan tentara terdiri dari
30.000 serdadu berjalan, 4000 serdadu berkuda, 300 kereta perang yang ditarik
empat ekor kuda, 200 gajah perang, semua membawa senjata yang lengka. Iskandar
lebih dari tiga bulan terhambat dan terpaksa mengadakan persediaan untuk
melawan, balatentara yang kuat itu. Akhirnya dapatlah ia menyerang pasukan
gajah raja Poros itu dulu, sehingga terjadi kekacauan di antara
binatang-binatang itu. Mereka menginjak serta membantingkan baik musuh maupun
pasukan raja sendiri dengan belalainya sampai mati. Sesudah itu barulah pasukan
berkuda mengepung dan menghalaukan balatentara Poros itu ke pinggir sungai
Jhilam yang dalam itu. Tidak lama kemudian raja Poros terpaksa menyerah, setelah
ia mendapat luka-luka yang parah. Iskandar menghormati musuhnya dan
memerdekakan tawanan semuanya, mereka berjanji akan berkerja sama dengan orang
Yunani.[13]
Tiba di tepi sungai
bias, balatentara Iskandar mogok dan
mengatakan tidak bersedia berperang lagi, melainkan hendak pulang ke Yunani
yang tujuh tahun mereka tinggalkan. Dengan bijaksana Iskandar memenuhi kemauan
tentaranya dan mengumumkan supaya perang di India diselesaikan pada tempat itu
saja. Sebelum balik ke Yunani, Iskandar mendirikan dua belas candi sebagai tanda
peringatan dan tanda perasaan berterima kasih kepada dewa-dewa kebangsaan.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 326 SM.[14]
Iskandar menganggap
negeri-negeri itu semuanya masuk bagian-bagian kerajaannya dan ia berharap akan
lekas kembali ke India. Sebagai wakilnya untuk memerintah negeri-negeri yang
takluk itu diangkatnya Poros, musuh lama itu. Akan tetapi kedatangan ajalnya
kedatangan ajalnya tidak dapat dielakkan dan dengan wafatnya tidak lama
kemudian, India terlepas dari kerajaan Yunani.[15]
Meskipun penjajahan politik lenyap dari India tidak berarti
peristiwa itu tidak ada akibatnya. Karena sejak itu terjadilah hubungan yang
erat antara India dengan negeri Barat. Perhubungan lalu lintas yang melalui
jurang Khaibar sudah terbuka juga pertalian dengan kota-kota di pantai Persia.
Hasil dan bahan-bahan dari india mulai mengalir ke negeri Barat dan sejak zaman
itu terjadilah perhubungan antara Timur dan Barat.
2.)
Pemerintahan raja-raja Maurya
Mengingat lemahnya
kedudukan wakil-wakil yang ditinggalkan oleh Iskandar di India mengertilah kita
bahwa tidak lama setelah kabar wafatnya Iskandar terdengar, penduduk
negeri-negeri itu langsung bertindak untuk merebut kemerdekaannya. Pemimpin
gerakan itu bernama Chandragupta, keturunan raja Nanda di Magadha yang dibuang
keluar negerinya dan lari ke India Utara. Tidak dapat tidak Chandragupta pernah
bertemu juga dengan Iskandar dan sebagai pemuda bangsawan yang mempunyai
perasaan keprajuritan itu tentu tertarik oleh kegagahan dan kebijaksanaan
pahlawan itu.[16]
Kerajaan iskandar dibagi-bagi
oleh panglima perangnya yang semata-mata menjadi raja sendiri dalam daerah
masing-masing. Diantara mereka ada Seuleukos menguasai bagian timur yang
melingkungi India Utara. Dalam tindakannya untuk mempertahankan kuasanya di
negeri itu ia dikalahkan oleh Chandragupta dari Magadha. Sehingga ia terpaksa
berdamai di tahun 305 SM. Perdamaian itu amat besar artinya, sebab semenjak itu
Seuleukos mempunyai utusan di Pataliputra, ibukota Magadha. Seorang di antara
utusan-utusan bernama Megasthenes. Ia tuliskan pengalamannya disana dengan rapi
dan teliti. Surat-suratnya masih tersimpan dan salinannya menjadi sumber yang
amat berharga untuk mengetahui keadaan dalam kerajaan Chandragupta pada masa
itu 322 – 298 SM dan pemerintahan puteranya raja Bindusara (298 – 172 SM).[17]
Seorang penulis yang
mahsyur lagi ialah Chanakya Vishnugupta, seorang Brahma, guru dan pembesar
penasehat Chandragupta.[18]
Tentang peraturan
pemerintah dan kehakiman di zaman ini, kitab Arthasastra memberikan keterangan
yang cukup. [19]
Keterangan-keterangan
itu semuanya menggambarkan Magadha sebagai suatu negeri yang maju dan mempunyai
kebudayaan tinggi, pemerintahan, keuangan, kehakiman, perekonomian serta cara
pertahanan yang teratur. Lagi pula, peraturan-peraturan pemerintahan tidak
ditiru dari manapun juga, melainkan muncul dari kebijaksanaan dan pikiran
sendiri.[20]
Pusat segala kuasa
adalah raja, dibawahnya terdapat raja-raja muda yang menguasai daerah-daerah
atau provinsi-provinsi. Disamping raja ada suatu badan penasehat tinggi. Pusat
pemerintahan diserahkan kepada 18 kementrian. Yang amat lengkap ialah
kementrian pertahanan negeri, dibagi atas 8 bagian. Pembesar-pembesar negeri
menerima gaji yang cukup supaya mereka jangan memeras penduduk. Pajak tanah, cukai
barang masuk, pajak penghasilan, semuanya terhiitung aturan-aturan yang modern,
sudah dijalankan dalam kerajaan Magadha. Untuk menambah hasil pertanian
diadakan pengairan yang sangat perlu dalam negeri yang panas seperti India
dengan cara besar-besaran.[21]
Pertahanan di dalam
negeri kuat sekali. Menurut keterangan Megasthenes balatentara Magadha terdiri
dari laki-laki 600.000 serdadu berjalan, 30.000 serdadu menunggang kuda, 9000
ekor gajah, dan 8000 kereta perang.[22]
Kaum Brahma mendapatkan
perlindungan yang luar biasa, oleh sebab itu mereka besar pengaruhnya terhadap
raja. Menurut berita dari kaum Jaina, raja Chandragupta pada suatu waktu
menarik diri dari pemerintahan dan menjadi pengikut Jaina, sesudah terjadi kelaparan yang hampir 10 tahun
lamanya sebab ia merasa berdosa terhadap rakyatnya. Ia diganti oleh putranya, Bindusara
(298 – 272 SM). Riwayat raja ini tidak begitu jelas, hal yang tentu ialah bahwa
raja itu pertama kali memerangi bangsa-bangsa di daerah Deccan di India tengah.[23]
Ia diganti oleh
putranya yang kelak mendapat nama yang mahsyur dalam sejarah India, ialah Asoka
Vandhana (272 – 232 SM).[24]
Sebelum Asoka naik
tahta kerajaan, ia memegang kekuasaan sebagai raja muda di India Barat, suatu
ujian untuk menunjukan kecakapannya. [25]
Berlainan dengan nenek dan ayahnya ia ternyata seorang yang lemah lembut, peramah,
dan suka berbakti, setia kepada agama dan amat mengasihi rakyatnya. Walaupun
demikian ia terpaksa berperang untuk mengadakan ketentraman di Deccan dan
menaklukan kerajaan Kalinga (di pantai Teluk Benggala). Setelah raja Asoka
mendengar bahwa dalam peperangan itu lebih kurang dari 100.000 orang Kalinga
binasa dan 150.000 orang ditawan, ia sangat sedih hati dan bersumpah tidak akan
mengangkat senjata lagi terhadap siapapun juga untuk selama-lamanya. Makin
nampaklah kerinduan raja untuk memeluk agama Buddha dan menjalankan segala
syarat-syarat agama itu dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pemerintahan.[26]
Di tahun 249 SM atau 24
tahun sejak Asoka menjadi raja, baginda ziarah mengunjungi semua tempat-tempat
suci yang bersangkutan dengan hidup dan pengajaran Gautama Buddha. Kota-kota
itu ialah, Kapilavastu (tempat lahir Buddha), Sarnath dekat Benares (tempat
Buddha pertama kali menyebarkan agamanya), Sravasti, Gaya (tempat pohon bodhi
yang suci), dan Kusinagara (tempat wafatnya). Di tempat-tempat itu baginda
memberi sedekah dan mendirikan tanda-tanda peringatan yang sampai sekarang
sangat berarti bagi ilmu sejarah.[27]
Dengan resmi raja Asoka
meninggalkan agama Brahma dan memeluk Buddha. Kemudian baginda masuk bikhsu
(reshi), dari sikap ini jelaslah bahwa agama buddha di zaman itu mendapat
kedudukan sebagai agama kerajaan. Atas titah raja Asoka didirikan kurang lebih
48.000 buah stupa yang masih ketinggalan ialah stupa yang mahsyur di Sanchi
(India Tengah), dekat ibu negeri provinsi yang di bawah pemerintahannya dulu.
Untuk anaknya putri Charumati yang sungguh berbakti didirikan oleh raja
beberapa wihara atau asrama bagi kaum wanita, terutama di bagian Nepal.[28]
Di waktu pemerintahan
Asoka, seluruh India hampir dapat disatukan. Hanya bagian ujung selatan dan
Sailan yang belum takluk kepadanya, kepulauan Sailan dikirim utusan-utusan
untuk mengajarkan agama Buddha. [29]
Dari zaman Asoka sampai
sekarang pulau Sailan adalah pusat pertahanan Buddha. [30]
Dalam sejarah India
belum pernah terdapat seorang raja yang begitu luas kerajaannya seperti Asoka.
Kerajaan Chandragupta di abad ke-5 Sesudah M dan kerajaan Moghul (Sultan Akbar
dan keturunannya) di abad ke-16 dan 17 tidak sampai menyamai kerajaan Asoka
itu.[31]
Yang penting sekali
dalam sejarah pemerintahan Asoka yang memahsyurkan namanya pula sampai sekarang
ialah tulisan-tulisan (prasasti) yang dipahat di dinding-dinding dan
tiang-tiang batu (Zuilen).[32]
Asoka dengan resmi
memeluk agama Buddha. Akan tetapi rakyat pada umumnya masih setia kepada agama
hindu, yang sudah berakar teguh dalam masyarakat tersebut sejalk purbakala.
Pandit-pandit Brahma masih besar pengaruhnya kepada rakyat. Asoka mengeluarkan
amanat supaya di antara agama-agama atau mazhab-mazhab haruslah ada ikatan
persaudaraan dan perdamaian; tiap-tiap agama merdeka melakukan kebaktian dan
mendapat perlindungan yang sama terhadap raja. Pendidikan masyarakat
didasarakan pada pengajaran Buddha. Oleh sebab itu ia melarang membunuh makhluk
berjiwa, baik manusia atau hewan. Yang melanggar akan mendapat hukuman yang
keras. Agama Buddha percaya bahwa manusia itu dalam hidupnya melalui beberapa
tingkat dan menjelma tiap-tiap kali dalam suatu jenis makhluk. Penjelmaan itu
ditentukan oleh karma, yang terdapat pada tiap-tiap manusia, yaitu hasil dari
segala perbuatannya yang baik atau buruk. Oleh karena itu, manusia dan
penjelmaannya tidak boleh dibunuh.[33]
Dalam maklumatnya, Asoka
memerintahkan supaya tiap-tiap orang menghormati orang tuanya leluhurnya, dan
orang-orang yang di atasnya. Kewajiban yang ketiga adalah supaya setiap orang
mencari kebenaran dan menuntut kerendahan dan kemurahan hati.
Perbuatan-perbuatan raja Asoka yang penting berhubung dengan ibadah dan
kesucian semangat ialah mendirikan rumh sakit dan rumah miskin, menyediakan
pondok-pondok untuk merawat hewan-hewan yang sakit, memberi derma kepada orang
yang bertapa (sangha), mendirikan wihara-wihara dan asrama-asrama, mengirim
utusan keluar negeri untuk memperkuat perdamaian, misalnya ke Iran, Mesir, dan
Sailan, mengadakan penjagaan di jalan-jalan raya, menyediakan pesanggrahan, sumur-sumur
air air, menanam pohon buah-buahan di pinggir jalan untuk umum dlsb.[34]
Di Sailan, pusat agama
Buddha, ia dihormati sebagai seorang manusia yang telah mencapai penjelmaan
Bodhisatwa.[35]
Kerajaan Maurya rupanya
di bawah pemerintahan Asoka sudah sampai kepada puncak yang setinggi-tingginya.
Setelah raja wafat kaum Brahma yang merasa kedudukannya sangat dibelakangkan di
tengah-tengah masyarakat yang berdasar pada filsafat Buddha mengajak rakyat
supaya melawan Dasaratha, putera Asoka. Kerajaan Maurya mulai mundur dan
terpisah-pisah. Akhirnya keturunan Asoka hanya dapat mempertahankan sebagian
dari kerajaan yang luas itu.[36]
Tahun 185 sebelum
Masehi raja Maurya penghabisan Brihadrata dibunuh oleh panglima perangnya
Pushyamitra Sunga sengaja merebut kuasa dari tangan raja yang lemah itu untuk
memperkuat perlawanan terhadap musuh yang mengancam dari sebelah Baktria dan
Turkestan (bangsa Parthi). Musuh itu hendak menyerbu ke dalam kerajaan Maurya
yang sudah lapuk itu.[37]
Keturunan-keturunan
Sunga memrintah 112 tahun lamanya. Kejadian-kejadian yang penting tidak berapa
yang diketahui. Mual-mula raja Kalinga yang ditaklukan oleh Asoka dapat merebut
kerajaannya kembali, sehingga Pushyamitra terpaksa mengadakan perdamaian yang
mengurangi kuasanya.[38]
Peristiwa yang kedua
ialah peperangan dengan Menander raja Kabul, di sebelah timur Persia yang
seakan-akan hendak meniru Iskandar Zulkarnain dan bermaksud merebut India, akan
tetapi ia dikalahkan oleh Pushyamitra (155 sebelum Masehi). Inilah peperangan
penghabisan yang dilakukan oleh bangsa dari sebelah barat terhadap India.
Penjajahan imperialisme Barat baru mulai 1650 tahun kemudian dan datangnya dari
laut, yaitu mula-mula dengan kedatangan seorang portugis di abad ke-15 dan
seterusnya orang Inggris di abad ke-17.[39]
Raja-raja Sunga tidak
begitu menyukai agama Buddha; mereka itu memihak kepada kepada agama Brahma.
Dalam pemerintahan Pushyamitra kebiasaan-kebiasaan Brahma dihidupkan lagi. Yang
ajaib diantaranya ialah pengorbanan kuda (asvamedha).[40]
Seekor kuda yang bagus
dan berwarna luar biasa setelah dihiasi menurut upacara, dilepaskan dan
dihalaukan kemana-mana. Semua negeri-negeri dimana kuda itu nampak harus tunduk
atau diperangi. Sesudah satu tahun lepas, barulah kuda itu ditangkap dan
dibunuh serta dikorrbankan dengan upacara yang sebesar-besarnya.[41]
Kita tahu, agama Buddha
melarang keras pembunuhan hewan, maka jelaslah bahwa perbuatan demikian
semata-mata penghinakan agama Buddha. Pengorbanan kuda semacam itu akan kita
temui lagi lima abad kemudian, yaitu di zaman Samudragupta. Raja Sunga
penghabisan tidak berkuasa lagi, melainkan menjadi boneka saja di tangan
menterinya Vesudeva, yang akhirnya raja itu juga dan menjadi penggantinya (73
sebelum Masehi). Keturunannya bernama Kanva. Raja-raja Kanva memerintah selama
45 tahun saja dan diganti raja-raja Andhra, terdiri dari 30 turunan dan
memerintahkan hampir 250 tahun lamanya, sampai tahun 225 tarikh Masehi.[42]
B.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Mukti. Agama-Agama
Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet. 1. 1988
Djam’annuri. Agama
Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama. Yogyakarta: Kurnia Alam
Semesta. Cet. 2. -
Gudamani. Pengantar Agama Hindu Untuk
Perguruan Tinggi.
Jakarta:
Yayasan Wisma Karma.
1987
Mulia. INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1. 1959
[1] - . Agama
Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama. Editor:Djam’annuri. (Yogyakarta: Kurnia Alam
Semesta,
Cet. II. ). h. 31-32
[2]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 19
[3]
Mukti Ali, Agama-Agama Dunia. (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press, Cet. 1, 1988). h. 94
[5]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 20
[6]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 21
[7] ibid
[8] ibid
[9] ibid
[10]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 22
[11] ibid
[12] ibid
[13]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 22-23
[14]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 23
[15] ibid
[16]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 25
[17]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 26
[18] ibid
[19] ibid
[20] ibid
[21]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 27
[22] ibid
[23] ibid
[24] ibid
[25] ibid
[26]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 27 - 28
[27]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 28
[28] ibid
[29] ibid
[30] ibid
[31] ibid
[32] ibid
[33]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 30
[34]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 30-31
[35]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 31
[36] Ibid
[37] ibid
[38] ibid
[39]
Mulia, INDIA: Sejarah Politik dan
Pergerakan Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 31-32
[40] Mulia,
INDIA: Sejarah Politik dan Pergerakan
Kebangsaan. (Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 1, 1959). h. 32
[41] ibid
[42] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar