Oleh :
Rini Farida (1111 0321 000 57)
A. PENDAHULUAN
Hindu
tidak hanya kaya akan konsep ketuhanan tetapi juga kaya akan konsep filsafat
yang dikenal sebagai sad darsana atau enam cabang filsafat dimana masing-masing
filsafat memberikan penggambaran akan Tuhan yang pada akhirnya bertujuan untuk
mengajarkan bagaimana mencapai Brahman atau Tuhan. Darsana identik dengan
“visi kebenaran” yang satu dengan yang lainnnya saling terikat. Filsafat Hindu
memiliki karakter khusus yang menonjol yaitu kedalaman dalam pembahasannya, yang
mencerminkan bahwa filsafat itu telah dikembangkan dengan sepenuh hati dalam
mencari kebenaran.
Semangat pembahasan yang menyeluruh dari konsep
yang nampak berbeda lebih dihargai karena memiliki ketelitian dan kesempurnaan
yang dicapai kebanyakan aliran pemikiran India. Apabila kita membuka karya
lengkap mengenai Vedanta, kita akan menemukan pernyataan dari pandangan seluruh
aliran filsafat seperti Carvaka, Bauddha, Jaina, Saiikhya, Yoga, Mimamsa, Nyaya
dan Vaisesika, yang dibicarakan dan dipertimbangkan dengan ketelitian penuh
tanpa ada kesan menyalahkan satu dengan yang lain; demikian pula halnya karya
agung mengenai filsafat Bauddha atau Jaina, juga membicarakan pandangan
filsafat lainnya. Sudah barang tentu kita akan mendapatkan bahwa banyak permasalahan
dari filsafat Barat kontemprorer dibicarakan dalam sistem filsafat India.
Disamping itu, kita mendapatkan bahwa para sarjana pribumi dengan dasar
pendidikan menyeluruh dalam filsafat India, akan mampu menangani berbagai
masalah filsafat bahkan permasalahan filsafat Barat yang rumit sekalipun dengan
ketrampilan yang mengagumkan.
Filsafat Hindu bukan hanya merupakan spekulasi atau dugaan belaka, namun
ia memiliki nilai yang amat luhur, mulia, khas dan sistematis yang didasarkan
oleh pengalaman spiritual mistis dan spiritual. Filsafat ini merupakan hasil
kepekaan intuisi yang luar biasa. Sad darsana yang merupakan 6 sistem filsafat
hindu, merupakan 6 sarana pengajaran yang benar atau 6 cara pembuktian
kebenaran.
Adapun
bagian-bagian dari Sad Darsana adalah :
- Nyaya, pendirinya adalah Gotama dan penekanan ajarannya ialah pada aspek logika.
- Waisasika, pendirinya ialah Kanada dan penekanan ajarannya pada pengetahuan yang dapat menuntun seseorang untuk merealisasikan sang diri.
- Samkhya, menurut tradisi pendirinya adalah Kapita. Penekanan ajarannya ialah tentang proses perkembangan dan terjadinya alam semesta.
- Yoga, pendirinya adalah Patanjali dan penekanan ajarannya adalah pada pengendalian jasmani dan pikiran untuk mencapai Samadhi.
- Mimamsa (Purwa-Mimamsa), pendirinya ialah Jaimini dengan penekanan ajarannya pada pelaksanaan ritual dan susila menurut konsep weda.
- Wedanta (Uttara-Mimamsa), kata ini berarti akhir Weda. Wedanta merupakan puncak dari filsafat Hindu. Pendirinya ialah Sankara, Ramanuja, dan Madhwa. Penekanan ajarannya adalah pada hubungan Atama dengan Brahma dan tentang kelepasan.
Ke-6
bagian-bagian dari Sad Darsana diatas merupakan secara langsung berasal dari
kitab-kitab Weda, kalau diibaratkan masing-masing bagian dari Sad Darsana itu
merupakan jalan untuk menuju Tuhan. Dimana untuk mencapai Tuhan kita harus
melalui salah satu dari keenam jalan tersebut. Memang jalan yang kita lalui
berbeda-beda namun setiap jalan mampunyai tujuan yang sama yaitu menghilangkan
ketidak tahuan dan pengaruh-pengaruhnya berupa penderitaan dan duka cita, serta
pencapaian kebebasan, kesempurnaan, kekekalan dan kebahagiaan abadi.
B. MIMAMSA
Adalah suatu keyakinan biasa pada zaman Veda bahwa ucapan-ucapan Veda,
dengan diterima sebagai yang tidak sesat dan bebas dari kekeliruan dalam
jalan apapun, merupakan otoritas tertinggi
untuk mengatur bagaimana orang menghayati hidup.
1. Pengertian
Secara
etimologis, kata mimamsa berarti ‘bertanya’atau penyelidikan[1].
bagian pertama dari filasfat ini disebut Purwa-Mimamsa
(Mimamsa), sedangkan bagian kedua disebut Uttara-Mimamsa (Vedanta). Mimamsa dan vedanta juga seringkali dijadikan satu pasangan. Sistem Mimamsa-Vedanta adalah dua bagian dari
satu filsafat yang mewakili unsur paling ortodoks dari tradisi Weda. Kedua
sistem ini menjelaskan perkembangan, tujuan, serta ruang lingkup teks Weda.
Filsafat
Mimamsa yang akan dibahas adalah Purwa Mimamsa, yang umum disebut dengan
Mimamsa saja. Kata Mimamsa, berarti penyelidikan yang sistematis terhadap Veda.
Purwa Mimamsa secara khusus mengkaji bagian Veda, yakni kitab-kitab Brahmana
dan Kalpasutra, sedang bagian yang lain (Aranyaka dan Upanisad) dibahas oleh
uttara Mimamsa yang dikenal pula dengan nama yang populer, yaitu Vedanta. Purwa
Mimamsa sering disebut Karma
Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
Mimamsa, sedang Uttara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
2. Sejarah Singkat Tentang Mimamsa
Sebagai
tokoh aliran Mimamsa ialah Jaimini yang hidup antara abad 3-2 SM dengan ajaran
pokok yang diuraikan dalam kitab Mimamsa-Sutra. Dalam jaman kemudian ajaran
dalam mimamsa-sutra dikomentari oleh para pengikutnya seperti : Sabaraswamin
sekitar abad ke 4 Masehi dan Prabhakarya sekitar tahun 650. Serta yang terakhir
oleh Kumarila Bhata sekitar tahun 700. Oleh karena itu dalam perkembangan
selanjutnya terjadilah dua aliran dalam Mimamsa yaitu disatu pihak pengikut
Prabhakara dan yang lainnya adalah pengikut Kumarila Bhata. Kedua aliran ini
tetap berpegang pada pokok ajaran Mimamsa walaupun tujuan mereka masing-masing
ada perbedaan.[2]
3.
Ajaran
Dalam Filsafat Mimamsa
Pokok pembicaraan di dalam Mimamsa ialah peneguhan
kewibawaan kitab Weda dan pembuktian
bahwa kitab Weda membicarakan upacara-upacara keagamaan. Oleh karena itu
Mimamsa juga disebut Karma-Mimamsa.
Pada
zaman Brahmana sudah dimulai adanya pembicaraan-pembicaraan tentang
bermacam-macam hal yang mengenai upacara-upacara keagamaan, dan bahwa hasil
dari pembicaraan-pembicaraan itu lalu disusun secara sistematis, yang kemudian
menimbulkan kesusateraan yang disebut Kalpa-Sutra.
Ajaran
Mimamsa dapat disebut pluralistis dan realistis, artinya: Aliran ini menerima
adanya kejamakkan jiwa dan pergandaan asas bendani yang menyelami alam semesta
ini, serta mengakui bahwa obyek-obyek pengamatan adalah nyata[3].
Sendi
utama teori pengetahuan Mimamsa adalah pemahaman tentang keabsahan diri
pengetahuan. tidak seperti teori pengetahuan lain yang mempertahankan bahwa
klaim-klaim pengetahuan diketahui sebagai yang benar ketika mereka berhubungan
dengan realitas, atau ketika mereka menuntun orang kepada tindakan yang
berhasil, atau ketika mereka berpadu dalam satu sistem yang konsisten. Mimamsa
menekankan bahwa kodrat pengetahuan itulah yang memberi kesaksian terhadap
dirinya sendiri. Keyakinan kita akan kebenaran klaim yang ditunjuk pengetahuan
dari kodratnya muncul sebagi satu sosok pengetahuan itu sendiri.[4]
Mengenai
alat atau cara untuk mendapatkan pengetahuan Prabhakara mengajarkan lima cara,
sedangkan Kumarila Bhata mengajarkan enam cara termasuk yang diajarkan oleh
Prabhakara. Keenam cara itu ialah:
1. Pengamatan
(Pratyaksa)
2. Penyimpulan
(anumata)
3. Kesaksian
(Sabda)
4. Perbandingan (Upamana)
5. Persangkaan (Arthapatti)
6. Ketiadaan (Anupalabdi)
Empat
bagian diatas sama dengan apa yang diterangkan dalam filsafat Nyaya. Bila
keempat cara pertama tidak dapat dipakai untuk mendapatkan pengetahuan
(kebenaran) dari suattu peristiwa, maka akanlah dipakailah cara persangkaan.
Walaupun disadari bahwa cara ini perlu dibantu dengan cara lain untuk
memperoleh cara yang pasti.
Bila
terlihat seseorang dalam keadaan senyum dan mukanya berseri-seri, maka dapat
diduga bahwa orang tersebut mendapat sukses dalam usahanya.
Kemudian
Ketidak adaan (Anupalabdhi) termasuk cara yang diajarkan oleh Kumarila Bhata
dan tidak termasuk diantara cara dari Prabhakara. Ketidakadaan ini dapat
diterangkan dengan suatu contoh, misalnya: bila seseorang masuk dan mengamati
sekeliling kamar dan mengatakan tidak ada meja di dalam kamar. Dia tidak
melihat meja karena memang tidak ada meja di dalam kamar itu. Jadi orang memiliki pengetahuan dalam hal ini
karena ketidakadaan (anupalabdhi) dan ketidakadaan itu memang tidak dapat
diamati.
Diantara
cara-cara tersebut didepan maka Mimamsa memandang bahwa cara kesaksian (sabda)
yang paling penting dan utama. Karna kesaksian adalah pengetahuan yang berasal
dari kata-kata atau kalimat-kalimat. Namun sebagai satu sarana pengetahuan yang
sah, kesaksian menunjuk hanya pada klaim-klam verbal yang berasal dari sumber
yang dapat dipercayai dan dimengerti secara benar.
Dalam
hal ini adalah kesaksian kitab weda. Wedalah kebenaran yang tertinggi dan Weda
pula sumber pengetahuan yang sempurna. Tidak seperti beberapa sistem yang lain,
Mimamsa tidak percaya akan satu pencipta dunia atau satu pengarang ilahi kitab
Weda. Sebaliknya, Weda merupakan perwahyuan langsung dan kekal dari realitas
itu sendiri.[5]
4.
Weda
Dan Dharma
Yang
menjadi tujuan pokok Mimamsa adalah : Menyusun aturan dan teknik untuk menerangkan
ajaran Weda terutama tentang pelaksanaan Dharma. Yang dimaksud dengan dharma
disini adalah upacara-upacara keagamaan yang bersumber pada Weda, termasuk pula
tuntunan kesusilaan. Dalam prakteknya Mimamsa sangat mengutamakan kesusilaan
karna dinyatakan bahwa orang yang kotor secara kesusilaan sangat sulit
dibersihkan melalui Weda. Kebersihan dalam kesusilaan merupakan syarat mutlak didalam pelaksanaan upacara.
Karna menurut Mimamsa dharma tidak menghasilkan buahnya secara langsung,
melainkan dengan pelantaraan, artinya :
sekalipun orang melaksnakan segala upacara keagamaan dengan betul dan
berdasarkan kemurnian kesusilaa, ia tidak langsung memeetik buahnya perbuatan
itu. Hal ini terlebih-lebh berlaku bagi apa yang dianggap sebagai hasil
tertinggi segala korban , yaitu sorga. Hasil ini baru akan dicapai setelah
orang meninggal dunia.
Menurut
Weda, dharma meliputi dua macam tindakan
yaitu tindakkan yang diwajibkan, baik berlaku pada umumnya, maupun yang
berhubungan dengan upacara-upacara berkala, dan tindakkan yang tidak
diwajibkan, yang fakultatip.
Mula-mula
Mimamsa mengajarkan, bahwa tujuan hidup manusia yang terakhir ialah mencapai
sorga, akan tetapi kemudian Mimamsa menyesuaikan diri dengan sistim-sistim yang
lain, yaitu Moksa (kelepasan).
Jalan
untuk mendapatkan kelepasan adalah pelaksanaanupacaraaupacara keagamaan seperti
yang diajarkan oleh kitab Weda, yaitu tindakan-tindakan yang diwajibkan dan menjauhkan
diri dari perbuatan yang terlarang. Karena keinginan yang berlebih-lebihan
untuk mempertahankan kebebasan dan keutuhan Weda, Mimamsa tidak memberikan
tempat tempat kepada Tuhan di dalam sistimnya. Weda tidak memiliki penyusun,
baik manusia maupun Tuhan di dalam sistimnya. Seandainya dunia ini dijadikan
oleh Tuhanyang mahakuasa dan maha pemurah, tidaklah mungkin di dalam dunia ada
kesengsaraan. Dunia tidak dijadikan Tuhan, sebab dunia ini tidak berawal dan
tidak berakhir. Tidak ada penciptaandan tidak ada peleburan dunia. Tidak ada
waktu dimana akan ada dunia yang lain daripada dunia sekarang ini. Oleh karena
itu juga tiada Tuhan. Bahkan dewa-dewa, yang kepadanya mula-mula korban-korban
dipersembahkan apakah ada dewa atau tidak, bukan soal yang penting.
Arti
sistim Mimamsa ialah bahwa sistim ini menyusun aturan-aturan untuk menjelaskan
Weda. Hal ini memang perlu sekali[6].
5.
Tentang
Alam
Berbicara
mengenai alam semesta Mimamsa mengatakan bahwa alam ini real dan kekal serta
terjadi atom-atom yang kekal pula. Alam ini tidak dibuat oleh Tuhan karena alam
ini ada dengan sendirinya. Kedua aliran Mimamsa baik Prabhakara maupun Kumarila
Bhata sama-sama mengajarkan adanya empat unsur di alam ini yaitu : Substansi,
kualitas, aktifitas dan sifat umum.
Substansi
menurut Prabhakara terdiri dari sembilan (9) yaitu:
a. Bumi f. Akal
b. Air
g.
Pribadi
c. Api h.
Ruang
d. Hawa i. Waktu
e. Akasa
Sedangkan
Kumarila Bhata mengajarkan ada sebelas (11) bagian substansi yaitu sembilan
yang diajarkan oleh Prabhakara dan ditambah dengan unsur lagi yaitu : kegelapan
(tamasa) dan suara (sabda).[7]
Substansi,
kualitas dan sifat umum sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan
secara mutlak walaupun ketiga-tiganya mewujudkan satu kesatuan yang bulat. Dan
substansi-substansi ini bukan terdiri dari atom-atom yang tidak dapat diamati.
Hal itu disebabkan karena kitab Weda tidak menyatakan hal demikian itu.
Bagian-bagian substansi dapat dapat diamati juga, seperti debu yang tampak di
dalam sinar matahari.
C. DAFTAR
PUSTAKA
1.
Adiputra,
I Gede Rudia, Tattwa Darsana, Yayasan
Dharma sarathi, Jakarta: 1990
2.
Ali,
Matius. Filsafat India. Sanggar
Luxor, ____, 2010
3.
Hadiwijono,
Harun. Sari Filsafat India, Gunung
Mulia. Jakarta: 1985
4. Koller, John M. Filsafat Asia, Ledalore, Flores: 2010
[1] Ali, Matius. Filsafat india,
hal. 89
[2] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa
Darsana. hal. 36
[3] Harun Hadiwijono. Sari Filsafat
India. hal. 77
[4] John M. Koller. Filsafat Asia.
hal. 152
[5] John M. Koller. Filsafat Asia.
hal. 155
[6] Harun Hadiwijono. Sari Filsafat
India. hal. 80
[7] Adiputra, Gede Rudia. Tattwa
Darsana. hal. 40
Mba.. Tolong di-entry filsafat Mimamsa yang udah Rini post di group yaa.. yang udah di revisi..
BalasHapusMakasih mbak.. :)